POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI PAPUA BARAT
RINGKASAN EKSEKUTIF (Executive Summary)
Kopi merupakan tanaman yang besifat specialty (khas), memiliki cita rasa berbeda bergantung pada lokasi penanaman meskipun menanam klon/varietasnya yang sama. Sebagai bahan seduhan minuman, semakin hari penggemar kopi semakin banyak, bahkan kopi khas tertentu memiliki penggemar yang fanatik. Di samping itu, minum kopi merupakan gaya hidup baru di kalangan millennial. Oleh karena itu volume eksport kopi Indonesia mengalami penurunan karena tingkat konsumsi dalam negeri saat ini mencapai 0.801 kg/kapita/tahun, dan rata-rata pertumbuhannya meningkat 8.22 % per tahun.
Indonesia sebagai negara yang memiliki agroekologi dan topografi yang beragam sangat memungkin mengembangkan berbagai jenis kopi dengan variasi cita-rasa yang tinggi. Oleh karena itu hingga saat ini Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke 4 dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Mengingat potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, maka Indonesia dapat menjadi negara produsen utama kopi khususnya dengan memproduksi Single Origin Coffee hal ini sejalan dengan luasnya wilayah dan keragaman agroekologi di Indonesia. Berbagai jenis Single Coffee Origin telah dihasilkan di beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh Gayo, Mandailing-Sumatera Utara, Jawa, Bali, Flores, hingga Papua. Telah terbukti masing-masing jenis kopi tersebut memiliki cita rasa yang khas dan unik. Bahkan, banyak jenis asal kopi Indonesia ini yang sudah populer di pasar dunia seperti Kopi Mandailing, Kitamani-Balim, Toraja, Wamena.
Mandailing, Kitamani-Balim, Toraja, Wamena. Secara Agroklimat wilayah Provinsi Papua Barat memiliki 2 zona yaitu wilayah dataran tinggi Kabupaten Pegunungan Arfak dengan ketinggian tempat 700 – 3000 n dpl dan wilayah lainnya yang berada pada dataran rendah yang menyebar dari pesisir pantai hingga 700 m dpl. Kondisi ini memungkinkan Provinsi Papua Barat dapat mengembangkan perkebunan kopi rakyat Arabika dan Robusta. Beberapa tanaman kopi yang telah ada sejak tahun 1980-an menunjukkan adaptasi pertumbuhan dan memberikan hasil yang cukup baik. Meskipun tanpa perawatan dan penanganan khusus, kopi yang dihasilkan di wilayah Anggi Kabupaten Pegunungan Arfak memiliki kualitas Premium. Hingga saat ini pengembangan perkebunan kopi baik di Kabupaten Pegunungan Arfak maupun Senopi-Tambrauw telah dan sedang dilakukan Tim Kerja Terpadu Think coffee and Cocoa. Tim ini merupakan kolaborasi perseorangan dari Faperta Unipa, BPTP Provinsi Papua Barat, Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Papua Barat, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, dan Masyarakat Adat. Di Senopi-Tambrauw telah ditanam 4.500 bibit kopi sejak awal 2020 dengan sistem Agroforestry, sedangkan di wilayah Anggi, Anggi Gida, dan Membey telah dibagikan lebih dari 3.000 bibit kopi dengan sistem sisipan/pengisian ruang. Bibit kopi yang dibagikan disiapkan oleh BPTP Provinsi Papua Barat.
Hasil penelitian Analisis Potensi Berbasis Komoditi Lokal Unggulan Daerah di Distrik Anggi, Anggi Gida, dan Membey menunjukkan bahwa luas lahan potensial untuk pengembangan kopi Arabika mencapai lebih besar dari 674,4 Ha dengan potensi hasil lebih tinggi dari 561,64 ton Green-Bean/tahun (mulai umur 8 tahun), sedangkan di wilayah dataran rendah di Senopi lembah Kebar Kabupaten Tambrauw sesuai untuk pengembangan kopi Robusta dengan luas lahan potensial mencapai 4.056,5 Ha.
Masyarakat petani di kedua Kabupaten wilayah penelitian menunjukkan persepsi yang sangat baik dalam pengembangan perkebunan kopi rakyat. Kondisi petani dan lingkungan/wilayah pengembangan memiliki kekuatan yang cukup besar dan harus dikelola secara benar dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada, tetapi tidak mengabaikan kelemahan dan ancaman. Manajemen kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pegembangan perkebunan kopi rakyat harus benar-benar diperhatikan secara terstruktur dan sistematis sehingga sebesar-besarnya untuk kepentingan petani.
Harga kopi Single Coffee Origin cukup tinggi, hal ini menunjukkan bahwa usaha perkebunuan kopi dapat mendukung peningkatan perekonomian petani. Harga biji kopi mentah Arabika (green bean kopi) dalam negeri bergantung pada kualitasnya. Sebagai gambaran (www,ulincoffee,com, akses 22 Desember 2019), harga Green Bean Arabika Aceh Gayo Garde 1 mencapai Rp. 120,000/kg, Arabica Lintong Sumut Rp. 128,000/kg, Arabica Mandailing Sumut Rp. 128,000/kg, Arabica Ciwidey Bandung Rp. 128,000/kg, Arabika Jawa Timur Rp. 135,000/kg, Arabica Toraja Rp. 150,000/kg, Arabica Dogiyai Papua Rp. 145,000/kg.
Harga green bean kopi Rubusta lebih rendah dibandingkan dengan Arabika. Rata-rata harga Robusta baik yang berasal dari Bengkulu, Bogor, Malang, maupun Temanggung Jawa Tengah adalah Rp. 70,000/kg. Sementara itu harga biji kopi Arabika sangrai (www,kopicul,com, akses 22 Desember 2019), adalah roasted beens Arabika Gayo Excellent Taste Pea Berry Rp. 222,000/kg, roasted beens Arabika Gayo Premium Rp.170,000/kg, roasted beens Arabika Luwak Rp. 380,000/kg, roasted beens Arabika Bajawa Flores Rp. 235,000/kg, roasted beens Robusta Rp. 91,000/kg, gree powder Rp. 200,000/kg, sedangkan harga kopi bubuk Arabika Gayo Rp. 360,000/kg (https://ottencoffee,co,id, akses 22 Desember 2019).
Secara umum harga biji kopi mentah di pasar lokal Papua dan Papua Barat berkisar Rp. 50.000 – Rp. 100.000/kg, Jika mengacu pada harga terendah, maka untuk setiap luas kebun 1 Ha, dengan produksi 1.000 kg/ha/tahun, maka pada masa produksi tanaman akan diperoleh Rp. 50.000.000/ha/tahun. Jika pengembangan kopi dalam suatu kawasan seluas 500 ha, maka dalam komunitas petani kopi akan diperoleh Rp. 50.000.000/ha/tahun x 500 ha = Rp. 25 Milyar per tahun. Umur puncak produksi tanaman kopi mulai 8 hingga 20 tahun.
Potensi pengembangan perkebunan secara spesifik lokasi di wilayah Provinsi Papua Barat sehingga perlu perhatian khusus dan fokus. Oleh karena itu sangat penting adanya OPD Perkebunan Provinsi Papua Barat dan Kabupaten. Perlu adanya program khusus percepatan pengembangan perkebunan kopi rakyat secara maasif, sistematis, dan berkelanjutan berbasis pertanian konservasi mulai dari hulu-hilir dengan melibatkan berbagai pakar, pemerhati kopi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga masyarakat adat dan stake holder yang ada sesuai dengan hasil analisis Mapping Stakehoders.