KAJIAN KEBIJAKAN PERIKANAN PROVINSI PAPUA BARAT
RINGKASAN EKSEKUTIF (Executive Summary)
Perikanan skala kecil merupakan usaha yang banyak dilakukan oleh nelayan dan pelaku bisnis perikanan di Papua Barat, sehingga kebijakan yang melindungi pelaku usaha di sektor perikanan sekaligus pemanfaatan yang menjamin stok di alam perlu disiapkan. Di samping hal tersebut, seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan akan protein asal ikan oleh masyarakat dunia dan secara khusus masyarakat Indonesia, membuat pengelolaan sumberdaya perikanan mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak yang terkait dengan keberlangsungan sumberdaya tersebut.
Perairan Papua Barat masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 717 dan WPP-NRI 715. Berdasarkan KEPMEN KP Nomor 50/KEPMEN-KP/2017, beberapa jenis sumberdaya perikanan, seperti ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar, udang penaeid, dan ikan karang sudah berada pada kondisi yang mendekati dan atau melebihi tingkat pemanfaatan maksimum di kedua WPP-NRI tersebut. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat, harus mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya. Selain kebijakan yang langsung menyentuh pengelolaan sumberdaya perikanan, kebijakan perikanan seyogyanya menjamin semua dimensi yang menyusun sistem perikanan, yakni dimensi ekologi (sumberdaya), teknologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan mendapatkan perhatian yang setara. Dengan demikian, perikanan sebagai satu sistem akan berkelanjutan.
Pengkajian kebijakan perikanan Provinsi Papua Barat dilakukan menggunakan beberapa metode analisis. Pendugaan status stok dari berbagai species sumberdaya unggulan dilakukan menggunakan metode dinamika biomassa (surplus produksi). Selanjutnya, berdasarkan informasi status stok tersebut serta informasi pemanfaatan dan pengelolaan yang diperoleh melalui survei dan wawancara di lapangan, dilakukan analisis FIshPath untuk merumuskan pilihan-pilihan strategi pemanfaatan (harvest stratetegy) dari setiap sumberdaya unggulan. Memperhatikan perikanan sebagai suatu kegiatan usaha yang multidimensi; maka rumusan kebijakan juga mempertimbangkan dimensi dalam perikanan selain sumberdaya. Untuk mengevaluasi tingkat kinerja setiap dimensi dalam sistem perikanan digunakan multidimensional scaling (MDS) dengan teknik RAPFISH yang mengacu pada Pitcher and Preikshot (2001).
Berdasarkan hasil kajian status stok dan dilanjutkan dengan FishPath direkomendasikan beberapa tindakan pengelolaan sumberdaya perikanan unggulan, yakni: (1) Pengurangan jumlah individu sampai 10% (Untuk tingkat pemanfaatan 100 – 120%); (2) Pengurangan jumlah individu sampai 20% (untuk tingkat pemanfaatan > 120%); (3) Mempertahankan hasil tangkapan pada level “status quo” (Untuk tingkat pemanfaatan 80 – 100%; (4) Mempertahankan upaya penangkapan pada kondisi status quo (untuk tingkat pemanfaatan 81 – 100%); (5) Meningkatkan upaya penangkapan secara bertahap, 10% setiap tahun (untuk tingkat pemanfaatan 50 – 80%); (6) Meningkatkan upaya penangkapan secara bertahap, 20% setiap tahun (untuk tingkat pemanfaatan 0 – 50%); (7); Menatapkan daerah perlindungan laut untuk melindungi habitat, daerah SPAG, dan pembesaran; (8) Penutupan kegiatan penangkapan pada bulan-bulan tertentu (Seasonal closures); (9) Pembatasan pengambilan individu sumberdaya yang berukuran illegal (illegal size) yakni lebih kecil dari Length at first maturity (Lm); dan (10) Pelarangan penangkapan individu betina yang sedang membawa telur.
Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa setiap kabupaten dan kota memiliki variasi dimensi dalam mempengaruhi kegiatan perikanan tangkap. Sebagai contoh, perikanan tangkap Kabupaten Teluk Wondama dari dimensi teknologi dan sosial ekonomi dapat dikatakan berkalanjutan (strong sustainability), tetapi dari dimensi sumberdaya perikanan dan kelembagaan dapat dikatakan kurang berkelanjutan (weak sustainability). Perikanan tangkap Sorong Kota dapat dikatakan bahwa secara umum status perikanannya dapat dikatakan berkelanjutan dari dimensi sumberdaya ikan, tetapi kurang berkelanjutan dari dimensi teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Dimensi pada kondisi weak sustainability dengan status “kurang berkelanjutan” membutuhkan perhatian khusus untuk perbaikan kinerjanya. Sebagai contoh, kabupaten dengan dimensi sumberdaya ikan yang kurang berkelanjutan dapat memperhatikan tingkat ekploitasi sumberdaya, perubahan ukuran tangkapan yang makin kecil dan meningkatkan pengawasan melalui pencatatan hasil tangkapan. Perbaikan tindakan pengelolaan dapat memperbaiki kondisi pemanfaatan saat ini, dan pada gilirannya akan berdampak pada pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Selanjutnya berdasarkan temuan tersebut di atas dirumuskan kebijakan perikanan guna mendukung bisnis perikanan tangkap laut dengan pendekatan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Kebijakan perikanan dirumuskan sesuai kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan untuk mendorong bisnis perikanan berkembang ke arah yang lebih baik. Bisnis perikanan diharapkan dapat tumbuh dan berkembang tanpa harus mengorbankan lingkungan dan sumberdaya perikanan yang menjadi target penangkapan. Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan oleh semua pelaku usaha perikaan dan pemangku kepentingan lain adalah:
- Pengendalian input, proses dan ouput kegiatan penangkapan;
- Peningkatan kapasitas nelayan;
- Peningkatan daya saing produk;
- Akses permodalan usaha perikanan tangkap masih terbatas; dan
- Pembagunan sentra produksi perikanan